Saka Mese Maluku

Saka Mese Maluku

The South Moluccan Movement

Den Haag, 17 agustus 2023

Perayaan 17 Agustus sebagai hari proklamasi Indonesia ternyata hanyalah mimpi belaka: karena perayaan ini tidak memiliki legitimasi hukum dan tidak memiliki legitimasi sejarah atau legitimasi moral. “Indonesia: satu negara, tetapi bukan satu bangsa”, sebagaimana Dr. Tristam Pascal Moeliono tulis dalam suratkabar De Volkskrantdi Belanda pada tanggal 20 oktober 1999.

Penulisan Dr. Tristam Pascal Moeliono (1999)

Hari ini kami mempersembahkan terjemahan lengkap dari sebuah penulisan dari Dr. Tristam Pascal Moeliono yang diterbitkan didalam suratkabar Belanda De Volkskrant, pada tanggal 20 oktober 1999. Judul penulisannya bernunyi:

“Indonesie: een land, maar geen volk”
(“Indonesia: satu negara, tetapi bukan satu bangsa”)

Suratkabar De Volkskrant termasuk salah satu suratkabar terbesar di Belanda dan kebanyakan dibaca oleh kaum terpelajar dan para pegawai dan para kader perusahan dan sebagainya. Walaupun penuulisan ini dari tahun 1999, judulnya hingga saat ini benar dan berbagai aspek yang Dr. Moeliono bahas atau sebutkan juga benar dan masih aktual sekali hingga hari ini, tanggal 17 agustus 2023.

Analisa judul penulisannya menyusul setalah 17.08.2023

Yang lebih penting: dalam penulisan sesudah penulisan hari ini, tanggal 17 agustus 2023,  khususnya judul dari tulisan dr. Moeliono dianalisa lebih dalam dari segi pendapat para ahli [hukum] internasional dan sejarah dalam Konperensi UNESCO di Madrid (November 1998).

Meluruskan Sejarah

Maksudan tujuan publikasi hari ini dan yang akan datang ialah: meluruskan sejarah. Eksistensi Indonesia secara politik memang sebuah fakta, tetapi pembaca perlu sadar bahwa eksistensi Indonesia secara hukum, secara historis dan secara moral sebenarnya tidak mempunyai dasar apapun samasekali.

“Indonesie bestaat niet”. (“Indonesia sebarnya tidak eksis”), sebagaimana Wilma Kieskamp, seorang wartawan Belanda tulis dalam suratkabar Trouwdi Belanda dalam tahun 1999 pada saat Indonesia rupahnya berada dalam proses sementara disintegrasi.

Terdjemahan lengkap dalam Bahasa Indonesia

Surat Kabar ‘De Volkskrant’ | 20 oktober 1999| Dr. Tristam Pascal Moeliono |

‘INDONESIA: SUATU NEGARA, TETAPI BUKAN SATU BANGSA.’

Penulis: Dr. TRISTAM PASCAL MOELLIONO

Dosen politik Internasional dan ekonomi pada Universitas Parahyangan di Bandung.

Dalam keadaan yang begitu kacau yang meningkat, Dewan Perwakilan Rayat pada hari ini pilih seorang presiden baru dengan keadaan latarbelakang yang sangat kacau. Menurut Tristam Pascal Moeiliono bahwa kekacauan itu bukan hanya warisan dari pemerintah Soeharto, tetapi problemanya juga itu adalah bangsa Indonesia sendiri.

———————————-Tristam Pascal Moeliono 20 oktober 1999, 00:00

Sesudahnya kemerdekaan itu diumumkan, ternyata soal pembangunan itu sangat sulit sekali. Apakah mungkin, begitu banyak bangsa2 dan rupa2 agama dijadikan satu dengan mempergunakan istilah ‘kesatuan Indonesia’? Dan sekarang, limapuluh tahun kemudian sesudahnya merdeka, kesukaran itu tidak menjadi kurang, tetapi rupa2 pristiwa timbul yang mengejutkan kami, seumpamanya gedung2 gereja dibakar, peperangan etnis di Kalimantan dan di Ambon dan perang persaudaraan di Aceh. Soalnya itulah bahwa semboyang ‘”Bhineka tunggal ika’ selalu menguasai kami seluruhnya.

Tetapi dengan mudah kami selalu lupa, bahwa kata2 bagus mengenai kesatuan dan kesatuan, dan 350 tahun penjajahan kolonial, tadapat menghapuskan perbedaan yang ada. Juga kepentingan perkembangan nasional yang selalu diusahakan oleh pemerintah tadapat menciptakan perasaan kesetiakawan itu. Daerah2 rasa mereka dimemanfaatkan dan pemerintah pusat di Jakarta tidak mengerti apasebabnya perjuangan guna bangsa dan negara tadapat dihargai oleh daerah2.

Negara kita berada dalam keadaan kacau-balau seluruhnya, dan itu disebabkan karena kebijaksanaan tidak cakap. Kami mempunyai banyak hasil2 tambang dan tidak kurang orang, banyak kaum2 terpelajar. Apa sebabnya kami sekarang bangkrut dan usaha2 kesatuan untuk menjadi satu achirnya menimbulkan perpisahan, kemarahan dan balas-dendam?

Konsep dari bangsa Indonesia itu adalah impian. Kami tidak mempunyai perasaan nasional. Kami tidak mempunyai nilai bersama yang bisa mempersatukan kami. Kami berusaha nilai2 yang baik dari pancasila untuk lebih diperluaskan. Tetapi sayang sekali, nilai2 itu sudah bangkrut dan pertentangan idiologi dalam permainan politik tadapat diatasi.

Menurut banyak orang maka perasaan penderitaan bersama itu dirasai sewaktu mengalamai penjajahan selama 350 tahun oleh penjajahan Belanda dan ini merupakan permulaan berperasaan kesatuan kami. Tetapi apakah itu sungguh-sungguh cukup? Apabila kami jujur melihat kepada sejarah, bisa dikatakan bahwa Belanda pada waktu itu berhasil oleh sebab berbagai bangsa ini selalu berhianat satu dengan yang lain. Dan kemudian kami mempersalahkan Belanda oleh karena mereka melakukan politik adu-domba terhadap kami. Sangat menarik untuk diperhatikan bahwa sebelum kedatangan Belanda dan Portugis sudah terjadi persaingan dan permusuhan yang hebat antarsuku. Ini juga berarti bahwa setiap kelompok mengalami pendudukan kolonial secara berbeda dan memaknai kekalahan dan kemenangan secara berbeda.

Apa artinya penjajahan Belanda untuk bangsa Aceh yang bisa bilang mereka sudah menentang Belanda sedyak tahun 1904? Apa artinya pendyadyahan itu untuk bangsa Ambon, untuk Irian atau Badui? Apakah penjajahan dari pulau Jawa ini dirasai dengan cara yang sama didalam daerah-daerah diluar pulau Jawa? Menengok kembali, kita harus mengakui bahwa sejarah bangsa Indonesia adalah kisah kegagalan sebuah kebudayaan. Kami sudah merdeka, itu betul. Dan itu terjadi bukan hanya dengan mempergunakan senjata, tetapi terlibih melalui meja perundingan. Namun sebelumnya hanya ada Hindia Belanda, kumpulan kerajaan-kerajaan kecil yang sebagian ditaklukkan dan sebagian lagi secara sukarela membuat perjanjian dengan Belanda.

Sesudahnya kami memperoleh kemerdekaan, kami berusaha suatu khayalan kesatuan dari satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air. Sumpah setia pemuda (1928) adalah awal, semboyan kebhinekaan (yang sekaligus menjadi satu kesatuan), modal awal. Presiden Sukarno melakukan yang terbaik untuk mengubah pola pikir pribumi, yang begitu cepat terpesona oleh segala sesuatu yang datang dari Barat. Penghargaan diri-sendiri ini beliau mendasarkan atas mengadakan permusuhan2 dimana-mana sadya.

Atas jalan yang lain maka presiden Soeharto berusaha yang serupa itu juga.  Perkataan2 yang Ia selalu pergunakan ialah, perhubungan perekonomian, perindustrian2 dan pembaharuan2. Tapi sulit untuk mempertahankan martabat ketika kita terjebak dengan hutang luar negeri yang begitu besar sehingga keturunan kita hingga generasi kesepuluh tidak dapat membayarnya kembali.

Budaya tersebut merupakan perpaduan dari keutamaan budaya daerah. Keanekaragaman dikorbankan untuk keinginan penyatuan, untuk keinginan untuk menunjukkan ke luar negeri bahwa kita memiliki peradaban Timur yang unggul.

Kita terlalu sibuk dengan ideologi dan prinsip kesatuan, mengabaikan fakta empiris bahwa budaya bukanlah kumpulan objek yang bisa dipetik sesuka hati.

Baru sekarang kita sadar betapa rapuhnya cita-cita nasional Indonesia. Bangsa Aceh, Timor Timur, dan Irian Jaya – entah apa lagi – tidak merasa menjadi bagian dari kelompok bangsa yang membentuk kesatuan Indonesia; dan itu mungkin tidak akan pernah terjadi. Bangsa-bangsa ini, terpojok, merasa dijajah oleh banga Jawa. Kekuasaan terkonsentrasi di Jawa dan pengejaran persatuan di sana hanya memicu ketidakpuasan regional.

Tetapi jika sejarah tidak dapat membantu kita dengan identitas dan budaya  bersama, jika kita bukan (atau belum) merupakan bangsa Indonesia, lalu kita ini apa? Identitas apa yang bisa kita adopsi? Mungkin membantu untuk mencari identitas itu di tempat lain. Saya orang Sunda, Batak, boleh saya katakan, atau boleh saya menggunakan nama salah satu dari banyak bangsa atau ras lain di Indonesia. Setiap bangsa memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan.

Bahkan warga keturunan Tionghoa asli, baik yang disebut ‘cina’ atau ‘tonghoa’, memilikinya. Mereka juga tahu keragaman mereka: Saya seorang ‘keh’, bukan ‘ho-kian’, kata mereka. Tetapi – jika kita benar-benar jujur ​​- apakah kita masih mengenal budaya asli Sunda, atau Jawa atau budaya tradisional lainnya?

Konsep merupakan satu bangsa, konsep bangsa Indonesia yang satu dan tak terpisahkan, tentu mempengaruhi kesadaran kedaerahan di permukaan. Pada saat yang sama, ia terbukti mampu mempengaruhi pengertian tradisi kita secara lebih umum dan telah melahirkan generasi a-historis yang tidak lagi mengenal siapa nenek moyangnya.

Apabila kami mau berusaha untuk mengembalikan yang sudah tidak ada, kami akan raba2 tidak tau dimana. Kami selalu berbicara mengenai membanggakan derajat kebudayaan timur dan lebih meninggihkan nilai ketimuran.

Kemudian ketika kita mencoba untuk mendapatkan kembali apa yang telah hilang, kita meraba-raba dengan sia-sia. Kami berbicara tentang budaya Timur yang ditinggikan dan tentang nilai-nilai Timur yang unggul. Bahkan terkadang kita berbicara tentang pentingnya melestarikan budaya daerah demi pariwisata. Kami menerima tamu-tamu asing terhormat yang sebelumnya kami membanggakan budaya-budaya itu sebagai koleksi berharga yang disimpan di museum (yang tidak pernah kami kunjungi).

Tapi sementara itu kami terasing dari latar belakang kami dan kami terpesona oleh budaya Barat. Tanpa identitas kita sendiri, kita dihadapkan pada daya tarik dunia Barat. Jadi kami menirunya dan menerima tanpa syarat apa pun yang ditawarkan kepada kami.

Pendidikan kita adalah bukti nyata kekaguman kita terhadap Barat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Buku pegangan kami penuh dengan referensi tentang penulis dan pemikir Barat. Namun kita memiliki cukup banyak pemikir dan filsuf kita sendiri yang dapat dianggap setara dengan mereka.

Kekaguman sering kali berubah menjadi kemarahan: kita memberontak terhadap apa yang membuat kita merasa rendah diri. Perlawanan melalui penyangkalan adalah hasilnya. Budaya Barat itu buruk, titik. Dan kami membawa bukti-bukti sejarah masa kejayaan Majapahit, Sriwijaya atau masa kejayaan peradaban ‘timur’ lainnya. Kita mungkin membutuhkan kemajuan teknis dan hal-hal menyenangkan lainnya dari ‘Barat’, tetapi kita tentu tidak ingin menjadi ‘Barat’.

Tapi apakah kita punya alternatif? Kemudian kita fokus pada agama, keyakinan akan kebenaran yang diungkapkan oleh Tuhan. Sebuah agama yang menuntut penyerahan tanpa syarat dengan imbalan keamanan, keselamatan dari kebingungan, pelanggaran hukum dan keterasingan. Identitas yang berasal dari agama adalah salah satu cara diferensiasi yang paling ekstrim dan efektif.

Dalam kebersamaan dengan jemaah, dalam pengalaman rasa ‘kita’, kita melawan yang lain, kita kembali merasakan kepastian identitas yang jelas. Sekarang kita memiliki masa lalu yang berarti lagi. Terlebih lagi karena setiap agama memiliki masa kejayaan untuk dikenang, sementara cita-cita agama itu juga patut diperjuangkan di masa depan, sekalipun ada jatuh korban.

Demikian kami bisa bangga atas diri kami sendiri, sebagai anggota2 yang selalu bergereja.

Dengan cara ini kita bisa bangga dengan diri kita sendiri sebagai umat beragama. Kami membawa nama Tuhan kemanapun kami pergi. Di atas hukum dan putusan pengadilan kita adalah pembukaan “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa” (diilhami oleh rahmat Tuhan Yang Maha Esa), tetapi substansi yang terkandung dalam rumusan itu adalah aib bagi keadilan. Jumlah gereja dan tempat ibadah baru (semua agama) di Indonesia bisa dibilang mencengangkan.

Setiap Jumat atau Minggu kita bisa melihat orang-orang di sana antri untuk menunaikan ibadahnya. Akankah korupsi berhenti di situ, pelanggaran hukum akan hilang? Bagaimana sikap kita ‘rakyat Indonesia’ pada Mei 1997, pada Sidang Istimewa DPR 1997-1998, dan bagaimana sikap kita sekarang terhadap segala dominasi pendidikan, majalah dan surat kabar itu? Kita mungkin bangga dengan agama kita, tetapi kita tidak dapat mengklaim pencapaian yang penting secara praktis.

Kami menghormati Tuhan, tetapi kami tidak mampu menjadi manusia sejati. Oleh karena itu, identitas agama kita salah. Agama berjanji untuk mengajari kita kebenaran, tetapi perilaku buruk kita tidak diurungkan oleh penampilan kesalehan orang asing.

Pada saat ini Indonesia berada dalam keadaan krisis identitas. Kami tidak tau kami ini siapa dan bagaimana kami harus atur hidup kami. Dari sebab itu kami berpendirian secara extrim. Norma-norma dan nilai tradisi yang tidak sesuai dengan norma agama, kami tolak. Kami tolak apa yang datang dari dunia barat karena kesombongan mereka. Apa yang kami harus pilih, kami tidak mengetahui.

Agama menjanjikan kepastian dan dengan demikian memberi kita rasa aman yang palsu. Kami sibuk dengan ritual dan formalitas dan kami menyerang siapa saja yang tidak setuju dengan kami. Semua ini sebagai konsekuensi dari pelanggaran hukum dan keterasingan yang ekstrim. Sudah saatnya kita mengumpulkan keberanian untuk bercermin dan tidak menghancurkannya berkeping-keping.

Apa yang harus terjadi pada kita? 

Sumber: https://www.volkskrant.nl/nieuws-achtergrond/indonesie-een-land-maar-geen-natie~be40aa93/

Penulis:

Dr. TRISTAM PASCAL MOELLIONO adalah seorang dosen politik Internasional dan ekonomi pada Universitas Parahyangan di Bandoeng.

Tulisan ini diterbitkan pada hari kamis tgl. 20 oktober 1999 didalam Surat Kabar ‘De Volkskrant’ di negri Belanda. Surat kabar ‘ De Volkskrant’ ini termasuk surat-surat kabar yang terbesar dan yang mempunyai pengharu besar dinegeri Belanda.

‘De Volkskrant’ dibaca oleh para elit politik dan akademis di Belanda.