
Di tengah pegunungan tropis dan garis pantai Seram yang subur, sedang berlangsung sebuah pertarungan senyap. Sementara pemerintah menjanjikan proyek-proyek pembangunan berskala besar sebagai motor kemajuan, masyarakat mulai menyadari bahwa semua itu lebih menyerupai perampasan daripada pembaruan. Di balik janji lapangan kerja, pelabuhan megah, dan program pertanian, tersembunyi jejaring kepentingan politik, korupsi, dan penggusuran. Seram, yang dulu menjadi simbol adat dan keterikatan dengan alam, kini perlahan berubah menjadi medan perebutan ambisi ekonomi.
Surat pembaca:
Dari perjalanan survei di tanah Seram, terlukis satu kenyataan pahit: tanah ini sedang dikepung atas nama pembangunan, tapi sesungguhnya dijarah atas nama kepentingan.
1. Gunung Marmer di petuanan Tanah Sapalewa, tepatnya di Taniwel, kini jadi incaran besar. Dari pusat hingga daerah, para pejabat bermain di bawah tanah, merayu generasi muda yang sedang kuliah di kota dengan uang dan program beasiswa. Janji itu manis di permukaan, tapi getir di dalam. Mereka tahu: bila anak-anak muda diam, maka suara orang tua adat akan mudah dipatahkan.
2. MIP (Maluku Integrated Port) disebut-sebut sebagai proyek jangka panjang, pelabuhan raksasa yang akan menghidupkan ekonomi timur. Tapi di balik itu, tanah Seram jadi titik fokus untuk menguras kekayaan yang terkandung di dalamnya. Bukan sekadar pelabuhan tapi pintu bagi masuknya kekuasaan ekonomi besar yang menempatkan rakyat sebagai penonton di tanah sendiri.
3. Pembebasan lahan yang akan dilakukan oleh pihak ketiga hanyalah panggung lain dari konflik kepentingan. Di balik nama perusahaan dan izin resmi, berdiri keluarga-keluarga pejabat dari Pemprov yang menancapkan kuku bisnis di tanah adat. Benturan pun terjadi, bukan antara rakyat dan pemerintah, tapi antar-elit yang berebut hasil bumi Seram.
4. Proyek Pisang Abaka dan sejenisnya hanyalah tabir asap. Di balik label pertanian dan pemberdayaan, tersimpan peta jalan menuju sasaran sesungguhnya: emas, damar, dan marmer di SBB. Mereka mengalihkan perhatian rakyat agar tak melihat arah sebenarnya dari langkah-langkah proyek besar itu.
5. Anak-anak muda ditekan dan digoda, dengan janji kerja, status PNS, dan uang cepat. Sebagian mulai goyah, sebagian lain masih bertahan. Mereka tahu, tawaran itu bukan kesejahteraan, tapi cara halus untuk menutup mulut dan mematikan daya kritis.
Seram kini bukan sekadar tanah leluhur. Ia telah menjadi medan pertempuran antara adat dan ambisi, antara suara rakyat dan bisikan kekuasaan. Dan di tengah semua itu, kita dihadapkan pada satu pertanyaan: Apakah kita akan diam, atau berdiri menjaga tanah ini sebelum semuanya dijual dengan senyum yang pura-pura manis?
By : Vigel Faubun