
Sekali lagi, aparat negara Indonesia merampas tanah yang adalah milik sah masyarakat adat Maluku secara turun-temurun — sebuah pola yang menyakitkan dan berulang.
Kekecewaan mendalam melanda masyarakat adat negeri Nusaniwe (Ambon), setelah aksi terbaru TNI AU. Tanpa konsultasi atau izin, TNI disebut-sebut telah mengambil alih tanah masyarakat adat secara sepihak. Tujuannya: membangun instalasi radar.
Wilayah yang dimaksud berlokasi strategis — lahan pertanian sekaligus destinasi paralayang yang populer. Warga desa melaporkan bahwa TNI tiba-tiba memasang patok batas dan menyatakan wilayah itu sebagai “hutan lindung” untuk pertahanan negara.
Masyarakat merasa dikesampingkan. “Kalau hanya satu instalasi radar, mungkin ada ruang untuk berdiskusi. Tapi untuk apa delapan hektare? Itu sama sekali tidak masuk akal,” kata para pemimpin desa.
Bagi masyarakat, tanah ini lebih dari sekadar tanah: itu adalah mata pencaharian mereka. Mereka menanam makanan di sana, memelihara kebun, dan memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Instalasi militer berarti hilangnya otonomi, keamanan, dan masa depan.
Warga tidak menentang pembangunan. Namun, pembangunan harus dilakukan dengan musyawarah dan saling menghormati. Sekarang tanah leluhur mereka ditempatkan di bawah kendali militer — tanpa izin, dengan konsekuensi ekologis dan sosial yang besar. Selain itu, wilayah tersebut penting untuk pariwisata, dan menarik banyak pengunjung domestik dan asing setiap tahun.
Tentara versus penduduk asli
Insiden ini bukan satu-satunya. Tentara Indonesia makin sering mengklaim tanah yang telah dikelola oleh masyarakat Maluku selama berabad-abad. Di Tawiri (Ambon), penguasa militer mengklaim tanah untuk pangkalan. Di Marafenfen, di Kepulauan Aru, masyarakat baru-baru ini harus membela diri secara hukum terhadap klaim dari angkatan udara.
Dan berulang kali, ternyata bukan penduduk asli, tetapi aparat negara yang memiliki keputusan akhir.